Oleh: Fahrurrosyi, Pemred Terukur
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang baru digulirkan Presiden dengan penuh kebanggaan, kini justru berbalik menjadi momok. Apa yang semula diniatkan mulia, kini terasa bagai kutukan: dari cita-cita “Indonesia Emas” malah menjelma menjadi “Indonesia Cemas.”
Di atas kertas, gagasan ini nyaris sempurna. Siapa yang bisa menolak imajinasi anak-anak bangsa yang berangkat sekolah dengan perut kenyang, gizi tercukupi, daya konsentrasi meningkat, dan prestasi akademik terangkat? Dari perspektif kesehatan masyarakat, program ini seharusnya mampu menekan prevalensi stunting dan malnutrisi, sekaligus mendorong kehadiran siswa di sekolah.
Tetapi kenyataan di lapangan sering kali membalikkan narasi indah. Alih-alih menyehatkan, program ini malah menghadirkan kasus keracunan massal. Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) mencatat lebih dari 5.360 siswa keracunan setelah menyantap menu MBG. Angka ini bukan sekadar statistik; itu adalah ribuan tubuh kecil yang seharusnya dilindungi, bukan dijadikan kelinci percobaan.
Mari kita zoom in. Di Pamekasan, Madura, misalnya, belum genap sebulan dua kasus keracunan massal mencuat. Pertama di Kecamatan Tlanakan, lalu di Palengaan. Di sekolah negeri pusat kota, hidangan MBG bahkan sempat ditemukan mengandung ulat hidup.
Lalu publik disuguhi jawaban ringan: “anak-anak hanya kekenyangan.” Benarkah sesederhana itu? Atau ada yang sengaja menutup mata terhadap buruknya pengelolaan rantai produksi makanan ini?
Kecemasan publik kini semakin nyata. Stasiun televisi lokal memberitakan keresahan para orang tua. Mereka gelisah: apakah menyekolahkan anak berarti sekaligus mempertaruhkan kesehatan mereka? Pertanyaan itu harus dijawab, dan jawabannya tidak boleh lagi normatif.
Masalah utama program ini bukan sekadar soal koki sekolah, katering lokal, atau distribusi logistik. Intinya adalah governance: pengawasan yang longgar, transparansi yang minim, serta kecenderungan saling lempar tanggung jawab.
Pemerintah seolah lupa bahwa dalam perspektif hukum administrasi dan perlindungan konsumen, negara wajib bertanggung jawab penuh atas produk kebijakannya. Anak-anak sekolah bukan subjek eksperimen. Mereka warga negara yang berhak atas jaminan kesehatan.
Jika dibiarkan berlarut, program ini akan kehilangan legitimasi sosial. Dan setiap program, betapapun megahnya desain di atas kertas, tanpa legitimasi publik hanya akan dicatat sejarah sebagai proyek gagal.
Pertanyaannya sederhana: apakah pemerintah serius ingin menyelamatkan program ini, atau membiarkannya runtuh di tengah jalan?
Karena, jika terus begini, label Makan Bergizi Gratis akan segera berubah di benak rakyat: bukan MBG, melainkan Makan Berbahaya Gratis. (*)